Kamis, 28 Juli 2011

Fenomena Karakter Diri dan Citra Diri pada Kehidupan Masyarakat

Suatu waktu di masa lalu, saya pernah melihat pemilihan putri Indonesia melalui televisi. Kalau saya tidak salah, pemilihan putri Indonesia itu berlangsung sekitar tahun 2004-an. Hal yang paling membuat saya tertarik untuk menyaksikan acara ini adalah ketika setiap peserta diminta untuk menjawab pertanyaan atau memberikan tanggapan terhadap tema atau pertanyaan yang mereka pilih secara acak. Melalui proses ini, audience dapat melihat bagaimana kompetensi yang dimiliki oleh tiap peserta dari setiap pernyataan yang mereka sampaikan. Namun, saya tidak ingin berbicara tentang pernyataan menarik yang mereka sampaikan, saya ingin berbicara mengenai pertanyaan menarik yang disampaikan kepada mereka.

Pertanyaan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika pembawa acara tersebut menanyakan kepada salah seorang peserta, "Manakah yang lebih baik, pembentukan karakter diri atau pembentukan citra diri, berikan alasan anda?". Kemudian sang peserta (saya sudah lupa siapa namanya) menjawab, "Menurut saya, hal yang lebih baik adalah pembentukan karakter diri karena jika karakter diri dibentuk dengan baik maka citra diri kita secara otomatis juga akan terbentuk dengan baik  karena citra diri merupakan cerminan karakter diri". Lalu, apakah jawaban Anda semua ketika Anda diminta memilih kedua pilihan tadi? Dan Apakah alasan anda?

Kita akan  membicarakan tentang karakter dan citra diri. Karakter diri (self esteem) dapat diartikan sebagai sifat yang melekat pada pribadi seseorang. Sementara itu, citra diri adalah anggapan atau nilai yang muncul pada pemikiran mengenai suatu objek (manusia). Citra diri (self image) merupakan salah satu unsur penting untuk menunjukan siapa diri kita sebenarnya. Ia juga merupakan konsep diri tentang individu (Maxwell Maltz dalam Ranjit Singh Malhi,2005, Enhancing Personal Quality). Kajian ini bukanlah hal yang asing bagi pihak-pihak yang terjun kedalam dunia sosial. Kedua istilah ini sebenarnya berwujud dan "hidup" di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Karakter dan Citra diri memang seperti dua sisi koin, keduanya saling berkaitan satu sama lain. Lalu, manakah istilah yang lebih dominan berada di masyarakat kita? Mari kita pertimbangkan penjelasan berikut ini:

A. Karakter Diri

Seperti yang telah diungkapkan pada penjelasan diatas, karakter diri merupakan sifat yang melekat pada seorang individu. Individu yang mementingkan karakter diri akan berupaya untuk memperbaiki dirinya dan menjadikan dirinya sebagai pribadi yang baik atau sebagai pribadi yang menurutnya "baik". Individu jenis ini biasanya mempunyai sebuah konsep ideal dalam dirinya yang diterapkan dalam tiap sifat dan tindakannya. 

Kelemahan individu jenis seperti ini adalah tidak semua yang ditampilkan seorang individu kepada orang lain akan sesuai dengan apa yang diangapnya sebagai "hal ideal". Misalnya, A yang memiliki pribadi suka bersedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya hanya melakukan kebiasaan sedekahnya untuk melakukan kebaikan, tidak peduli apakah orang lain akan melihatnya atau tidak. Ia melakukan tindakan dermawannya itu karena hal itu adalah tindakan yang dianggapnya baik.

Suatu ketika orang tersebut diangap tidak pernah bersedekah atau kikir oleh tetangganya yang belum mengenali sang dermawan dengan baik. Kemudian tetangganya itu mengatakan "ketidak-dermawanan"  si A kepada yang lainnya. Lalu, apakah semua orang akan percaya dengan ucapan tetangganya itu? Jawabannya tergantung kepada hubungan pertemanan yang "dekat" antara sang dermawan dengan orang banyak karena karakter diri seseorang dapat dikenali dengan melakukan pendekatan yang sering. Penjelasan tersebut membuktikan bahwa kebaikan suatu karakter diri belum tentu dikenali oleh orang lain. Lalu bagaimana dengan seseorang yang fokus dengan citra dirinya?


B. Citra Diri

Seseorang dengan jenis ini dianggap sebagai pribadi yang mementingkan anggapan orang lain kepadanya dibandingkan anggapan dirinya tentang diri sendiri. Pada dasarnya, manusia yang terlihat jahat belum tentu berkarakter jahat atau manusia yang terlihat baik belum tentu berkarakter baik. Citra diri dapat diibaratkan seperti topeng yang digunakan oleh seorang individu. 

Seperti yang diungkapkan pada gambaran diatas mengenai A yang bersikap dermawan kepada sesamanya. Apakah perbedaan antara tindakan individu dengan karakter diri dan individu dengan citra diri mengenai tindakan dermawan seperti diatas? Tentunya sebagian dari pembaca dapat menebaknya.

Seorang individu yang lebih mementingkan citra dirinya dibandingkan karakter dirinya akan melakukan aktivitas dermawannya didepan orang-orang agar citra dirinya terlihat di depan orang-orang. Individu dengan jenis ini biasanya akan sangat mudah dikenali orang banyak walaupun belum mengenalnya secara dekat. Hubungannya dengan orang lain akan menjadi baik seiring dengan prilakunya yang suka menjaga pandangan orang lain terhadapnya.

Anda mungkin pernah melihat kejadian memalukan yang dilakukan oleh salah satu Presiden di kawasan Barat yang tiba-tiba memukul binatang yang ada didekatnya ketika Dia sedang diliput dalam acara televisi yang ditonton oleh sebagian besar rakyatnya. Kejadian ini terjadi kira-kira tahun 2004-an silam, sebuah acara televisi nasional membuat acara yang tujuannya ingin melestarikan keberadaan binatang langka. Pada saat itu, mereka mengundang Presiden X sebagai upaya pengambilan perhatian masyarakat. Acara ini berlangsung disebuah kebun binatang terkenal dan diliput secara langsung. Setelah Presiden menyampaikan beberapa kalimat yang intinya ajakan untuk melestarikan binatang langka, seorang kru studio memberikan kode seperti memberitahukan bahwa kamera sedang off dan pengambilan gambar sedang break. Bapak Presiden tersebut kemudian tanpa berdosa memukul kura-kura langka berumur 80 tahunan agar menjauh darinya. Pukulan itu memang tidak terlalu keras, namun masalahnya adalah kamera yang sedang mengambil gambar ternyata masih dalam keadaan ON. Akibatnya, Presiden pun mendapatkan banyak cemooh dari rakyatnya. Tidak lama dari kejadian tersebut, acara tersebut dihentikan tanpa alasan yang jelas. Bagaimana bisa seseorang mengajak orang lain menyayangi binatang sedangkan dirinya sendiri tidak menyukainya dan hanya berpura-pura menyukainya ketika disaksikan orang banyak.

Penjelasan diatasa rasanya telah menggambarkan bagaimana gambaran yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Manakah yang merupakan gambaran diri Anda???

0 komentar:

Posting Komentar